Demikian disampaikan ratusan aktivis yang menggelar aksi solidaritas terkait kematian Salim Kancil di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jawa Timur. Petani yang menentang aktivitas penambangan pasir ilegal di Desa Selok Awar-awar, itu memiliki tiga anak dan tiga cucu.
"Trauma healing juga dilakukan pada anak-anak pendidikan usia dini (PAUD) yang menyaksikan langsung penganiayaan brutal itu," kata Koordinator Aksi Solidaritas Jawa Timur, Rere Kristianto, Kamis (1/10/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Selain itu, para aktivis juga mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur, menutup seluruh aktivitas pertambangan di pesisir selatan. Mereka menuntut pemerintah melindungi saksi dan korban dalam kasus penganiayaan itu. Polisi pun, kata Rere, harus mengusut tuntas kasus penganiayaan tersebut.
Aksi itu melibatkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, LSM Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Surabaya, PUSHAM Surabaya, Gusdurian Jatim, KNTI Jatim dan lainnya.
Mereka membawa sejumlah poster bertuliskan 'Save Gumuk Pasir Selatan Jatim', 'Hentikan Penambangan di Pesisir Selatan', dan 'Save Salim Kancil'.
Pada 26 September 2015, sekelompok orang menjemput Salim Kancil dan Tosan. Kedua petani itu dinilai lantang memprotes keberadaan penambangan liar di Desa Selok Awar-awar.
Mereka dianiaya dengan cara disetrum, dipukuli, bahkan dilindas sepeda motor berulang kali. Salim Kancil tewas dalam kejadian itu setelah pelaku menggergaji lehernya. Sementara Tosan luka berat dan harus menjalani perawatan di rumah sakit di Malang.
Hingga berita ini dimuat, Polda Jatim menetapkan 23 tersangka dalam kasus penganiayaan tersebut. Satu di antaranya Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-awar, yang berperan di belakang layar. Menurut Polda, Hariyono tak berada di lokasi saat penganiayaan terjadi. Namun Hariyono terlibat dalam perencanaan penganiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)