"Memang, pengesahannya dilakukan saat terjadi gerhana bulan. Tapi itu tak masalah. Yang penting, pengesahannya," kata Suwardono, pakar arkeologi di Kota Malang, Jawa Timur, Senin (7/3/2016).
Kehidupan sosial dan politik kerajaan tak terpengaruh gerhana bulan maupun matahari. Buktinya, Raja Mpu Sindok tetap membuat Prasasti Turiyan yang ditemukan di Desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Suwardono mengatakan Prasasti Turiyan atau juga dikenal sebagai Prasasti Watu Godeg itu disahkan pada Tahun 85 Caka atau 24 Juli 929 Masehi.
Prasasti itu berkaitan dengan pembuatan bendungan di daerah Turen. Mpu Sindok berkepentingan mengeluarkan prasasti menandai berdirinya bendungan. Kawasan itu kemudian dikenal dengan pusat pertanian yang hasil buminya melempah.
Saat mengesahkan Prasasti Turiyan, sesepuh masyarakat menggelar upacara dan doa selama 15 menit. Upacara berlangsung saat terjadi gerhana bulan.
%20Peninggalan%20Raja%20Mpu%20Sindok%20di%20Desa%20Tanggung%2C%20Kecamatan%20Turen%2C%20Kabupaten%20Malang%20-%20a.jpg)
(Prasasti Turiyan (Watu Godeg) Peninggalan Raja Mpu Sindok di Desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang)
"Upacara tidak terganggu dengan gerhana bulan," ungkap Sudarwono.
Penghitungan astronomi masyarakat Jawa kuno berpatokan pada bulan, bukan matahari. Sehingga, pengesahan prasasti tetap dilaksanakan karena Raja Mpu Sindok berpendapat hari pasarannya sudah tepat.
Begitu pula dengan Prasasti Mulamalurung pada 1177 Caka atau 1254 Masehi. Prasasti yang dikeluarkan Raja Singosari Wisnuwardana tersebut juga tepat saat gerhana bulan.
Prasasti Sucen berangka tahun 765 saka atau 843 masehi di sekitar Kedu, Jawa Tengah, terkait penetapan daerah Sima juga disahkan tepat saat gerhana bulan. Naskah kuno Negarakertagama selesai ditulis Mpu Prapanca juga tepat saat gerhana bulan.
Ia menjelaskan Prasasti Blitar, Jawa Timur, juga tidak banyak orang yang mengetahuinya ketika disahkan raja saat gerhana bulan.

(Bulan nyaris menutup matahari saat Gerhana Matahari Total terlihat di Jepang pada 2009, Ant)
Sementara itu, Dosen Jurusan Sejarah IKIP Budi Utomo, Kota Malang, Jatim, Yahmin mengatakan baru- baru ini fenomena alam gerhana matahari dimaknai sebagai tujuan wisata. Hal itu terjadi lantaran mitologi zaman dulu mulai luntur seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun demikian, lanjut Yahmin, ada kearifan lokal yang bisa terus dikembangkan kendati bernuansa simbolik dan mitos. Kearifan lokal tersebut adalah usai gerhana matahari, masyarakat zaman dulu memaknai dengan memukul kentongan atau menciptakan suara.
Hal itu dimaknai simbolik terbebas dari kegelapan atau isyarat membatalkan kegelapan, untuk selanjutnya dibangunkan.
Bagi orang yang hamil biasanya membuat selamatan 'sego rogoh'. Yaitu nasi beserta lauk-pauk dimasukkan ke kuali atau wadah terbuat dari tanah liat untuk selanjutnya dikeluarkan dari wadahnya.
Maksud dari ritual itu agar orang hamil tidak terpengaruh gerhana atau yang dianggap sebagai simbol kegelapan tersebut.
Setelah gerhana matahari, katanya, orang zaman dulu juga membangunkan hewan peliharaan dan tanaman yang memiliki manfaat besar. Caranya memukul hewan ternak atau tanaman. Maksudnya agar kembali hidup setelah terpapar kegelapan saat gerhana matahari.
Demikian juga dengan manusia, saat gerhana diminta tetap terjaga sebagai bentuk tetap sadar. Itu sebabnya ada ungkapan orang Jawa yakni 'sopo sing leno bakale keno' (siapa yang terlena akan terkena) dampak gerhana matahari.
Oleh karena itu kearifan lokal yang menyertai fenomena alam gerhana matahari kendati menyangkut mistis dan mitos itu memberikan makna simbolik kepada manusia agar tetap sadar dan hidup sesuai aturan dan norma.
"Masyarakat sekarang memaknai gerhana matahari sebagai proses alamiah. Fenomena alam yang dulunya dimaknai mistis dengan cerita mitologinya, sekarang sudah luntur dan dimaknai rekreasi," tegas Yahmin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)