Ketua Asosiasi Pengusaha Tambang Jatim, Hudin Al Soni mengungkapkan kalau Jatim mengalami krisis pasir. Bahkan, krisis itu sudah bermula sejak 2010.
“Bukan hanya sekarang. Ini dimulai sejak penertiban penambangan pasir di Sungai Brantas. Selain itu, sulitnya mendapatkan perizinan ini yang membuat banyaknya illegal mining,” ujarnya, di Surabaya, Sabtu (31/10/2015).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Bahkan, karena tragedi Salim Kancil, membuat pasokan pasir untuk pembangunan berkurang. Sebab, banyak penambang yang memilih tiarap. Akibatnya, pasokan pasir turun drastis.
“Saat ini jumlah pasokan pasir turun hingga 80 persen. Ini yang menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Menurutnya, secara umum kebutuhan pasir di Jatim cukup besar. Saat kondisi normal, kebutuuhan Jatim mencapai 20-30 ribu meter kubik per hari. "Sedangkan pada saat proyek bertambah seperti saat ini, bisa mencapai 40 ribu meter kubik per hari," katanya.
Kebutuhan ini, kata dia, sebenarnya bisa dicukupi beberapa daerah yang memiliki potensi pasir cukup banyak. Saat ini potensi pasir yang belum tersentuh adalah pasir gunung yang terdapat ada di beberapa titik. Di antaranya di Semeru dan Kelud.
“Keduanya bisa memenuhi kebutuhan Jawa Timur hingga 25 tahun,” ujarnya.
Sebab, lanjut dia, potensi pasir yang ada di Gunung Kelud saja di bagian bawah mencapai 24-27 juta meter kubik, sedangkan yang masih di atas lebih dari 50 juta meter kubik.
Meski begitu, kata Hudin, kekurangan pasokan pasir ini tidak bisa dijadikan dasar bagi pengusaha melakukan penambangan ilegal. “Semuanya harus memiliki komitmen untuk menata dunia pertambangan dengan baik. Penambang juga harus berwawasan lingkungan, intinya good mining practice,” tegasnya.
Dia meminta agar pelaku tambang, media dan pemerintah saling menjaga dan mengawasi terkait proses penambangan. “Jika ini semua berjalan dengan baik saya optimistis dunia pertambangan Jatim akan berjalan baik sesuai aturan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)