Permintaan itu disampaikan pengamat sosiologi agama, Ahmad Zainul Hamdi, di Surabaya, Jawa Timur. Ia menilai warga eks-Gafatar merupakan korban penggiringan opini yang menyatakan ajaran Gafatar sesat.
"Jadi, jangan sampai setelah mereka pulang, malah muncul konflik sosial di kampung halaman masing-masing," kata pria yang akrab disapa Inung itu, Jumat (22/1/2016).
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Peraih gelar doktor sosiologi agama di Universitas Islan Negeri Sunan Ampel (UINSA) itu mengatakan mantan Gafatar termasuk warga negara Indonesia. Mereka juga memiliki hak yang sama di mata hukum.
"Negara berkewajiban melindungi mereka dari korban kekerasan serta stigma massa yang selama ini menganggap mereka aliran sesat," jelasnya.
Inung menilai langkah pemerintah konyol melakukan pemulangan eks Gafatar dari Kalimantan Barat. Harusnya, kata Inung, pemerintah tidak spontan memulangkan ke kampung halaman mereka. Pemerintah cukup membina mereka di perkampungan di Kalbar.
"Mereka sudah nyaman di lokasi tersebut. Hanya saja, ketika ramai-ramai ada pemberitaan terkait Gafatar mereka terusik yakni perkampungannya dibakar," ungkap Inung.
Hari ini, Jumat 22 Januari 2016, Pemerintah Provinsi Kalbar memulangkan warga eks-Gafatar ke daerah masing-masing. Sejak diusir paksa dari barak di Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, sebanyak 1.119 warga eks-Gafatar menempati Markas Pembekalan dan Angkutan Kodam (Bekangdam) XII Tanjungpura di Jalan Adisucipto, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.
Pemerintah Kalbar juga menempatkan 440 warga eks-Gafatar di Kompi Senapan B Yonif 643 Wanara Sakti di Kabupaten Kubu Raya. Sedianya mereka menempati pemukiman di Rasau Jaya dan Desa Limbung. Dua anak di Kompi Senapan B mengalami sakit polio dan patah kaki.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)