"Untuk itu kami minta Pemprov untuk membekukan izin pertambangan ilegal untuk menghindari konflik sosial," pinta Wakil Ketua Komisi D Bidang Sumber Daya Alam DPRD Jatim, Hamy Wahjunianto, di Surabaya, Kamis (1/10/2015).
Hamy menilai Pemprov Jatim tidak serius menyikapi persoalan pertambangan di Desa Selok Awar-awar, Lumajang. Aktivitas penambangan di desa itu ilegal. Konflik pun muncul karena warga setempat menolak penambangan. Hingga akhirnya, konflik memanas dan menewaskan seorang petani, Salim Kancil.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Dinas ESDM harus tegas kalau ada tambang yang berijin tapi bermasalah dengan warga, sebaiknya izinnya sejak awal dibekukan atau ditutup. Mestinya Pemprov berkoordinasi dengan Pemkab Lumajang dan aparat Kepolisian. Jangan sampai menunggu adanya korban jiwa baru bertindak. Jangan sampai kasus tewasnya Salim Kancil di Lumajang kembali terulang," kritik potikus PKS itu.
Harusnya, kata Hamy, Dinas ESDM Pemprov Jatim melakukan inventarisasi masalah pertambangan yang ada di wilayah Jawa Timur.
"Apakah ada yang bermasalah dengan warga, atau ada yang tidak memiliki izin alias liar. Bukan bertindak saat ada kejadian," tandasnya.
Pada 26 September 2015, sekelompok orang menjemput Salim Kancil dan Tosan. Kedua petani itu dinilai lantang memprotes keberadaan penambangan liar di Desa Selok Awar-awar.
Mereka dianiaya dengan cara disetrum, dipukuli, bahkan dilindas sepeda motor berulang kali. Salim Kancil tewas dalam kejadian itu setelah pelaku menggergaji lehernya. Sementara Tosan luka berat dan harus menjalani perawatan di rumah sakit di Malang.
Hingga berita ini dimuat, Polda Jatim menetapkan 23 tersangka dalam kasus penganiayaan tersebut. Satu di antaranya Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-awar, yang berperan di belakang layar. Menurut Polda, Hariyono tak berada di lokasi saat penganiayaan terjadi. Namun Hariyono terlibat dalam perencanaan penganiayaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)