Boy mengisahkan, upayanya mengolah sampah plastik itu bermula dari kebangkrutan bisnis otomotif yang ia jalani di Jakarta sekitar tahun 2000. Dari kebangkrutan itu, ia benar-benar limbung untuk mencari jalan hidup. Bahkan, keluarga tak terpikirkan lagi.
"Dari kebangkrutan itu, lalu saya berintrospeksi diri. Kenapa saya bisa bangkrut. Saya sepertinya salah jalan. Waktu itu saya benar-benar blank," ujar Boy ditemui Medcom.id di Dusun Bungsing pada Selasa, 19 Februari 2019.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Lelaki berusia 53 tahun ini menceritakan, dirinya ketika itu memutuskan mencari pemuka agama. Saking tak bisa berpikir, Boy saat itu hanya takut bagaimana kalau dirinya mati.
Boy sempat diajak temannya kembali membuka otomotif tapi ia menolak karena sudah tak punya modal. "Kalau pinjam modal, pasti ditanya kapan bisa mengembalikan," kata dia.
Lebih dari dua tahun ia mencoba berpikir keras usaha apalagi yang harus dicoba. Boy memutuskan menuju ke Yogyakarta pada 2003. Semula, tujuannya berangkat ke Gereja Ganjuran, di Bantul.
Di sana, ia kemudian mengontrak rumah. Boy kemudian berbincang dengan para pemulung tentang harga sampah plastik. Ia mendapati kondisi harga sampah plastik yang sangat rendah. Gelas dan botol plastik bekas hanya dihargai Rp300 per kilogram oleh tengkulak.
"Saya melihat plastik seperti melihat uang. Tuhan memberikan banyak barang, tinggal kita mau ngelola atau enggak," kata dia.
Boy dengan segera memutuskan menjadi pembeli sampah plastik dari para pemulung dengan harga lebih tinggi. Jika di pengepul dihargai Rp300 per kilogram, Boy berani membeli dengan harga Rp500, naik ke Rp800, bahkan hingga Rp1.400 per kilogram.
Keputusan ini mengundang protes para pengepul. Boy dituding merusak harga. Ia kemudian didatangi beberapa pengepul akibat langkahnya yang di 'luar' kebanyakan orang.
Setelah berunding, ia mengalah. Lalu Boy meminta saran sampah plastik jenis apa yang bisa ia olah dengan tanpa mendapat protes. Dapatlah masukan dari para pengepul untuk mengolah sampah plastik jenis PVC.
Boy pun menjadi pengumpul sampah plastik jenis PVC dari para pemulung pada 2005. Awalnya ia hanya mengumpulkan, menghancurkan, dan menjualnya ke Jakarta. Usaha ini dijalankan di kawasan Pandak, Bantul. Ia memutuskan pindah ke Bungsing pada 2007 akibat perlakuan diskriminatif yang diterimanya.
Di Bungsing, ia mendapatkan respons positif. Ia mendapat dukungan dari warga. Meskipun, ada sejumlah orang yang menilai upayanya seperti mimpi di siang bolong.
"Sejak awal langsung berpikir mengolah sampah menjadi pipa. Saya jelaskan akan (membuka peluang) pekerja dan mengolah PVC dari hulu hingga hilir. Saya giling, olah, bikin pipa," ujarnya.
Upayanya terwujud pada 2015. Ia menerangkan, mengolah plastik jenis PVC sangat rumit. Elemen plastik jenis itu sulit dikerjakan. Jika ada kesalahan mengolah tak akan ada harganya. Sebaliknya, kalau mengolah dengan benar harganya menjanjikan. Sementara, sampah plastik jenis PVC didapatkan dari kawasan Yogyakarta, Magelang, Solo, hingga Salatiga.
Apalagi Boy memulai usaha dengan mesin bekas yang diperbaiki lagi. Dengan modal hanya sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta, ia mencoba memproduksi pipa itu.
Dari sehari, pabriknya yang masih dalam kondisi kecil kini bisa memproduksi pipa dengan berbagai ukuran. Seperti; 5/8 inch; 1/2 inch; 3/4 inch; 1 1/4 inch; 1 1/2 inch; 2 inch; 2 1/2 inch; 3 inch; dan 4 inch. "Dalam sehari bisa memprodukai 2 ribu batang pipa tapi harus dalam satu ukuran yang sama," ujarnya.
Hasil produksi pipa Boy baru dipasarkan ke distributor di kawasan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut dia, hasil produksi pipa dari bahan sampah plastik tak kalah beda kualitasnya dengan produksi pabrikan dengan bahan murni. Baik itu dari segi kualitas, kekuatan, dan kerapian hasil produksi. Harganya pun ia jual 60 persen lebih rendah dari pabrikan.
Saat ini, produksi di tempatnya baru bisa menghasilkan satu mobil bak terbuka 2.000 batang pipa per hari. Per batang bisa menghabiskan tiga kilogram sampah plastik PVC yang sudah dihaluskan. Omzet olahan sampah plastik ini bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.
"Kami dapat tantangan untuk bisa memprodukasi 9-10 mobil berisi pipa dalam berbagai ukuran. Kita ini sudah industri tapi masih kategori usaha kecil," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ALB)