Selain toko, wisatawan biasanya belanja di pedagang batik kaki lima di sisi barat Jalan Malioboro. Dinas Pariwisata DIY menyebutkan sebanyak 4,7 juta wisatawan datang ke Yogyakarta sepanjang 2017. Angka ini meningkat dari kunjungan wisatawan di tahun sebelumnya yakni sekitar 3,5 juta.
Salah satu wisatawan dari Lampung bernama Waluyo. Ia baru saja menghabiskan 1 juta lebih untuk membeli dua kemeja batik tulis lengan panjang di Toko Hamjah Batik, jalan Malioboro. Menurut Wayulo, membeli batik tulis, karena motif bagus dan bahannya halus.
Baca: Cara Pembatik 'Menyambung Umur'
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Walau harga mahal tapi kualitasnya seimbanglah,” kata Waluyo.
Yogyakarta merupakan satu di antara kota produsen batik di Indonesia. Produksi batik laris manis di toko maupun pinggir jalan. Pedagang menuai untung dari berjualan batik.
Namun keuntungan itu tak dinikmati buruh batik. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY pada 2015, ada sebanyak 71 industri batik, termasuk UMKM, dengan total jumlah pekerja sebanyak 743 orang.
Jika dirinci, di Kota Yogyakarta, ada sebanyak 17 pengusaha baik dengan jumlah pekerja 208; Kulon Progo ada 31 dengan jumlah pekerja 116; Bantul ada 21 dengan jumlah pekerja 401; Gunungkidul ada 2 dengan jumlah pekerja 18. Industri batik di Yogyakarta didominasi batik tulis, sebagian kecil batik cap atau printing.
Di Bantul, Imaroh, pemilik rumah batik Sri Kuncoro bercerita tentang buruh batik di tempatnya. Menurutnya, para pembatik tersebut diupah berdasarkan kualitas kerja. Semakin rumit motif dan kualitas goresannya, mereka dibayar semakin mahal. Motif paling rumit biasa dikerjakan empat bulan oleh tiga hingga empat pembatik. Dalam dua minggu pembatik bisa menyelesaikan 20 lembar kain batik.
Ia mengatakan tak tahu detail soal ketenagakerjaan. Ia mengaku memberikan pekerjaan membatik para perempuan agar mereka berpenghasilan.
“Ketimbang nganggur di rumah, mereka kan jadi ada penghasilan. Tak ada perjanjian kerja,” tuturnya.
Imaroh mengatakan, harga kain batik Sri Kuncoro dibandrol berkisar Rp1 juta hingga Rp3 juta. Harga dibedakan berdasarkan kualitas goresan.
“Beda tangan, beda kualitasnya, beda harga. Mereka sudah tahu, saya kualitasnya ini, dikasih upah segini. Di sini sistemnya borongan,” kata Imaroh.
Di balik timpangnya upah buruh batik tulis di Yogyakarta, kerajinan batik menjadi satu sub-sektor fesyen pada program ekonomi kreatif pemerintah sejak 2009. Dalam makalah berjudul ‘Buruh Batik: Ironi Perempuan sebagai Pekerja dan Pejuang Kebudayaan’ karya Karina Rima Melati, dosen Akademi Komunikasi Indonesia (Akindo) Yogyakarta, dijelaskan, Kementerian Perindustrian mencatat, pada 2011-2015, terdapat pertumbuhan unit usaha dari 41,623 unit menjadi 47,755 unit, dengan tenaga kerja dari 173,829 orang menjadi 199,444 orang. Batik menjadi salah satu sub-sektor industri kreatif yang dicanangkan pemerintah pada 2009.
“Total, nilai produksi batik sebesar USD 39,4 juta dan total nilai ekspor sebesar USD 4,1 juta,” kata Karina.
Menurut paparan Karina, meskipun omzet perdagangan batik terhitung tinggi, masyarakat yang terlibat di dalam proses industri seni ini belum mendapat kesejahteraan merata. Ada ketimpangan penghasilan antara pembatik tulis yang dijalani mayoritas perempuan, dibanding pembatik cap atau printing yang dikerjakan laki-laki.
Baca: Penjaga Waris ‘Goresan Malam’ Diupah Rp600 Ribu
Para buruh batik tulis di Kota Yogyakarta hanya dibayar sekitar Rp35 ribu– Rp40 ribu tiap hari. Jika dihitung per lembar kain yang telah dibatik selama tiga hingga empat hari kerja hanya diupah Rp90 ribu. Sementara, standar upah buruh di Yogyakarta pada kisaran Rp1,5 juta sampai Rp1,7 juta per bulan.
“Ini mengkhawatirkan karena di Yogyakarta saja yang telah mendapat julukan sebagai Kota Batik Internasional, buruh batiknya masih diupah di bawah standar hidup,” kata Karina.
Contohnya yang terjadi pada Catur Ari Wibowo, pemilik Aliyya Batik di Desa Tancep, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul. Menurut Catur, ia punya lima pekerja batik, empat perempuan, dan satu laki-laki. Pekerja perempuan khusus mengerjakan batik tulis. Mereka bekerja seperti buruh perempuan di batik Sri Kuncoro.
Sedangkan pekerja laki-laki, mengerjakan batik cap, yang lebih mudah ketimbang batik tulis. Sekali cap, kain bisa dilanjutkan dengan proses pewarnaan. Dalam sehari, produktivitas kain batik cap bisa mencapai 25 potong dengan panjang masing-masing dua meter.
“Pekerja batik cap ini digaji Rp5 ribu per dua meter. Kalau lilin dari pekerja bayarnya Rp20 ribu per potong,” katanya.
Menurut Catur, apabila dihitung bekerja sebulan 26 hari dan per potong Rp5 ribu, dalam sebulan bisa mendapat upah Rp3.250.000. Jika batik cap dikerjakan dengan lilin milik pekerja, upahnya lebih besar dalam sebulan.
“Omzet (Aliyya Batik) dalam sebulan kira-kira Rp25 juta-Rp30 juta per bulan,” ucapnya.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja (HIPTK) Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi DIY, Ariyanto Wibowo, industri harus mengikuti ketentuan ketenagakerjaan dalam pengupahan pekerjanya. Ia mengaku sulit mendeteksi ada pekerja tanpa perjanjian dengan pemberi kerja. Instansinya belum pernah secara spesifik membahas masalah rendahnya upah perempuan pekerja batik tulis itu.
“Di perusahaan formal ataupun informal pemberian upah harus sesuai upah minimum. Perlu dicek di lapangan dulu sejauh mana hubungan kerjanya,” ucapnya.
Masih menurut Ariyanto, instansinya bekerja bergantung program kegiatan yang sudah dianggarkan selama setahun. Sebulan sudah 60 kali sosialisasi ke pemilik usaha agar memenuhi norma ketenagakerjaan, termasuk upah layak. Ia mendorong para pengusaha batik bisa memenuhi aturan kerja, termasuk jaminan ketenagakerjaan. Selain itu, Ariyanto mengimbau pekerja juga menanyakan lebih dulu detil perjanjian sebelum bekerja.
“Biar diawal enak dulu, dalam artian sama-sama memahami dan menyepakati. Saya paham banyak tenaga kerja melakukan pekerjaan, belum mengetahui aturannya. Begitu dirasakan, entukke mung kesel (dapatnya hanya lelah), ora cucuk (tidak mencukupi),” katanya.
Sementara, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, Tri Saktyana mengklaim telah berupaya melakukan perbaikan upah perempuan buruh batik. Salah satu langkahnya memberikan pelatihan berwirausaha. Menurut dia, ada pembatik yang hanya bisa mengerjakan batik tanpa disertai berbisnis.
“Tapi ada juga pelaku kerajinan (baik) yang memiliki jiwa entrepreneur. Ini kita seleksi, didorong agar bisa tumbuh menjadi pengusaha batik,” ucapnya.
Lihat video:
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RRN)
                                    
                            
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
								
        
            