GKR Mangkubumi. Foto: MI/Ardi
GKR Mangkubumi. Foto: MI/Ardi (Ahmad Mustaqim)

Putri Sultan Tak Otomatis Bertahta di Keraton

sabda raja
Ahmad Mustaqim • 06 Juni 2015 15:27
medcom.id, Yogyakarta: Pro dan kontra Sabda Raja Sri Sultan Hamengkubuwono X hingga kini masih terus berlangsung. Beberapa kalangan menilai keputusan mengeluarkan Sabda Raja dan Sabda Tama akan bermuara pada keputusan menjadikan putri Sultan, GKR Mangkubumim, bertahta di Keraton Yogyakarta.
 
Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Lokal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jawahir Tontowi, menafsirkan keputusan yang Sultan keluarkan itu tak otomatis menjadikan GKR Mangkubumi bertahta di keraton.
 
Jawahir mengungkapkan, untuk bertahta di keraton, calon sultan harus lebih dulu memperoleh pengakuan dari kerabat keraton dan masyarakat. Jika sudah memperoleh itu, baru kemudian calon tersebut bisa naik menjadi Sultan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ia melanjutkan, sebagaimana yang terjadi pada 1989, saat Sri Sultan HB X akan bertahta, masih harus memperoleh persetujuan dari saudara-saudara di lingkungan keraton.
 
"Artinya, Sultan diangkat juga dengan persetujuan saudara-saudaranya," kata Jawahir di Ndalem Yudhanegaran, Yogyakarta, Kamis (4/6/2015).
 
Ia menambahkan munculnya Sabda Raja diibaratkan seperti aturan pengganti undang-undang. Sebab, hal tersebut untuk menjawab ketidakpastian hukum di keraton yang tidak membenarkan bahwa sultan yang bertahta adalah perempuan.
 
"Sebagai alat legitimasi siapa yang layak menjadi gubernur dari lingkungan keraton, efektivitasnya (sabdaraja) tetap berdasarkan pengakuan," ujarnya.
 
Lagi pula, dia melihat sabdaraja itu bersifat magis. "Hukum adat itu magis dan magic," ucapnya.
 
Untuk itu, ia meminta agar berbagai pihak yang tidak sepakat dengan sabdaraja tidak perlu meminta adanya pembatalan. Masyarakat, kata dia, hanya perlu menyerahkan itu pada kebiasaan dan waktu. "Sebagai masyarakat yang memiliki adat adiluhung, biar waktu dan zaman yang akan menentukan," kata Jawahir.
 
Kebijakan Sultan HB X mengeluarkan sabdaraja hingga kini masih menimbulkan sikap pro dan kontra. Beberapa kerabat internal keraton bahkan sudah menyiapkan penyikapan sebagai upaya ketidaksepakatan sabdaraja itu.
 
Salah satu yang menolak sabdaraja adalah adik kandung Raja Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto. Menurutnya, kedua sabdaraja yang diucapkan pada 30 April dan 5 Mei itu, batal demi hukum.
 
Ia beralasan pengucapan sabdaraja bertentangan dengan paugeran (aturan keraton) dan protokolernya. Apalagi atribut dan pakaian yang dikenakan Sultan saat itu bukanlah pakaian kebesaran yang seharusnya dikenakan raja.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(UWA)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif