"Sangat kejam," suara Syafii bergetar. Sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tak membuncah.
"Miris sekali," kalimat Syafii kembali terhenti, demi menahan geram saat menyaksikan rekonstruksi kasus kematian tiga peserta diksar The Great Camping Mapala Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Syafii adalah ayah salah satu korban tewas, Ilham Nur Padmy Listiadin. Jauh-jauh hari Syafii menanti hari bersejarah ini.
Dia rela datang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat ke lokasi reka ulang di Desa Gondosuli, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Tempat siksaan
Rekonstruksi masuk adegan pada regu lima. Mata Syafii kembali nanar, menatap dari balik garis polisi.
Putranya, Ilham, tergabung dalam regu lima bersama dengan korban tewas lainnya, Syait Asyam. Para korban tewas diperagakan peran pengganti
Dalam beberapa adegan, tampak mahasiswa Fakultas Hukum UII semester empat itu berulangkali mendapatkan pukulan. Tendangan di bagian perut dan dada. Juga sabetan batang pohon serta tamparan.

Syafii (kaos garis, bertopi) saat menyaksikan adegan rekonstruksi.
Kekerasan demi kekerasan mulai didapatkan peserta diksar saat berada di 'Lembah Penyiksaan'. Itu adalah nama yang diberikan panitia diksar. Begitu kata para saksi saat rekonstruksi.
Lembah Penyiksaan berlokasi sekitar tiga kilometer setelah titik kumpul pertama. Di titik inilah pertama kali peserta diksar mendapatkan tekanan psikis dan fisik.
"Tempat anak saya disiksa," Syafii masih heran.
Batal lihat tersangka
Dalam reka ulang, tindak kekerasan dominan dilakukan dua tersangka yakni Angga dan Wahyudi.
Wahyudi merupakan alumni UII. Sedangkan Angga, saat kejadian masih tercatat sebagai mahasiswa UII. "Saya kecewa mereka tidak didatangkan dalam rekonstruksi," ungkap Syafii.
Ia menyebut sangat ingin melihat wajah dua tersangka yang telah menewaskan Ilham. "Seperti apa wajah kejamnya. Selama ini saya hanya tahu dari media. Saya ingin melihat langsung," tutur Syafii yang saat itu didampingi kakak Ilham Nur Padmy.
Di mata Syafii, Ilham adalah anak yang baik dan berprestasi. Ia tak habis pikir, hanya karena ingin bergabung dengan pecinta alam, putranya harus merasakan siksaan bertubi-tubi.
Proses hukum, lanjutnya, memang tidak dapat mengembalikan nyawa putra tercintanya. Namun Syafii berharap hukum ditegakkan seadil-adilnya.
"Sangat jahat. Kejahatan boleh dibalas kejahatan. Saya minta pelaku dihukum berat. Kalau perlu hukuman mati," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SAN)