Penjelasan Sultan terhadap rakyat Yogyakarta mengenai keputusannya itu memang sudah dilakukan pada Jumat (8/5/2015) lalu, namun tetap saja polemik terus membesar dan menjadi perbincangan hangat.
Menanggapi hal itu, Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, mencoba mendedahkan persoalan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Polemik mencuat saat Sri Sultan mendapat pertentangan dari internal keraton terutama dari adik laki-lakinya. Pertentangan keras ini terjadi karena Dawuh Raja (Sabda Raja) menghilangkan kemampuan Kasultanan Yogyakarta untuk memilih pemimpinnya.
"Polemik muncul karena tidak ada alternatif sistem yang diberikan Sultan pasca dikeluarkannya Sabda Raja. Beliau juga menolak berkomentar lebih jauh terkait kelanjutan GKR Mangkubumi menjadi penerus tahta," ujar Bayu Dardias Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM di Yogyakarta, Senin (11/5/2015).
"Ini membuat Kasultanan Yogyakarta dihadapkan pada krisis mencari pemimpin. Karena jika garis laki-laki dihapuskan, alternatif sistem tidak ada."
Bayu yang sedang meneliti politik bangsawan di Indonesia ini menambahkan, kesultanan Islam di Indonesia berbeda dengan paham demokrasi yang dianut Indoensia. Menurutnya, kesultanan Islam, terutama di Jawa, sejak dulu menggunakan aturan garis keturunan laki-laki dalam memilih raja.
"Kesultanan adalah institusi aristokrasi yang metode pemilihan pemimpinnya terletak pada garis keturunan, terutama laki-laki di kesultanan Jawa," ," terang Bayu.
Sedangkan demokrasi, lanjutnya, terletak pada kemampuannya memilih pemimpin lewat pemilu. Semua orang sama kedudukannya untuk memilih dan dipilih jadi pemimpin dalam demokrasi.
Dalam polemik Sabda Raja, Bayu mengibaratkan jika Keraton Yogyakarta adalah negara Indoensia, maka Sultan sedang menghapus pemilu yang dipakai sebagai sarana memilih pemimpin.
"Sebaliknya, adik-adik Sultan berupaya mempertahankan (cara) masa lalu, terlebih untuk mempertahankan masa depan kesultanan. Sementara Sultan sedang melaksanakan amanat leluhur yang juga memiliki konsekuensi tersendiri apabila tidak dilaksanakan," beber lulusan Master of Public Policy at ANU's Crawford School of Public Policy.
Inilah faktor penyebab polemik mencuat di kalangan internal keraton. "Ini perbedaan pendapat yang tidak mudah ditemukan titik temunya," kata dia.
Bayu menilai jalan putri Sri Sultan, GKR Mangkubumi, menjadi raja masih panjang. Sebab, Sri Sultan sendiri belum bisa menentukan kelanjutan sikapnya pasca mengubah nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi dalam dawuh (Sabda Raja) kedua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(UWA)