"Pasalnya, saat kejadian terdapat satu dump truck dan dua truk tronton yang melewati bentang jembatan itu," kata Chomaedhi, dikonfirmasi, Rabu, 18 April 2018.
Dosen Teknik Infrastruktur Sipil ITS itu menjelaskan, sudah ada peraturan yang mengatur besar beban yang diperbolehkan melewati jembatan saat tahap perencanaan. Namun peraturan tersebut mulai berubah mengikuti pembaruan dari pemerintah.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
(Baca: Jembatan Widang Kerap Dilewati Pemudik Lebaran)
Jika dulu jembatan kelas satu memiliki batas muatan 45 ton, saat ini bisa mencapai 50 ton. Pada kasus jembatan Widang yang memakan satu korban tersebut, beban total yang mampu ditahan jembatan hanya 45 ton dengan rasio toleransi keamanan 1,5 atau beban maksimumnya 70 ton.
"Satu dump truck dan dua tronton bisa jadi peningkatan bebannya mencapai dua persen, dugaan utamanya kelebihan muatan," katanya.
Argumen tersebut juga dikuatkan dengan posisi robohnya jembatan. Patahan hanya terjadi pada satu bentang jembatan, sedangkan pondasi masih berfungsi dengan baik.
"Kalau truk itu lewat secara bergantian, mungkin jembatan masih aman. Tapi kalau lewat secara bersamaan, otomatis jembatan akan collapse (roboh)," katanya.
(Baca: Tiga Truk Bertindihan di Jembatan Widang)
Tanpa pengawasan ketat
Di sisi lain, lanjut Chomaedhi, tidak adanya kontrol terhadap beban yang boleh melewati jembatan menjadi salah satu faktor. Seperti diketahui, area tersebut tidak ada jembatan timbang yang berguna sebagai kontrol jumlah muatan yang diizinkan.
"Jembatan itu sudah lama, jika mengikuti peraturan baru dari pemerintah yang bisa mark-up hingga 20 persen tentunya tidak akan kuat," katanya.
Dosen asal Pulau Bawean tersebut berpesan agar perbaikan Jembatan Widang nantinya juga memperhatikan berat beban yang diizinkan. Apalagi saat ini sudah ada teknologi berupa sensor yang bisa dipasang pada titik-titik tertentu sepanjang bentang dan mampu mendeteksi kondisi jembatan.
(Baca: Jembatan Widang Diduga tidak Dirawat)
Senada juga disampaikan oleh pakar konstruksi dari Universitas 17 Agustus (UNTAG) Surabaya, Bantot Sutriono. Ia menduga ambruknya Jembatan Widang disebabkan oleh beban berlebih atau overload.
"Apalagi jembatan itu sudah sekian tahun dilalui. Tentu kekuatan atau daya layaknya menurun," ujar Bantot.
Ketika dilewati kendaraan berat yang kelebihan, plat sambung atau plat kopel terpengaruh hingga ambruk. Selain akibat overload, Bantot juga menduga ada aspek yang tidak diperhatikan saat jembatan tersebut diperbaiki pada 2017 lalu.
"Bisa jadi kesalahan dalam perbaikan," kata Bantot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SUR)