Warga menaiki andong saat mengikuit Kirab ÔBedhol ProjoÕ melintasi kawasan Tugu Pal Putih, DI Yogyakarta, Senin (15/5). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah.
Warga menaiki andong saat mengikuit Kirab ÔBedhol ProjoÕ melintasi kawasan Tugu Pal Putih, DI Yogyakarta, Senin (15/5). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah. (Ahmad Mustaqim)

Cara Yogyakarta Berbenah dari Isu Intoleransi

kerukunan beragama
Ahmad Mustaqim • 05 April 2019 17:36
Yogyakarta: Bupati/walikota di Daerah Istimewa Yogyakarta diminta segera menindaklanjuti Instruksi gubernur tentang Potensi Konflik Sosial. Instruksi dikeluarkan menyusul kejadian berulang kali tindak intoleransi yang ada di beberapa wilayah di DIY.
 
Teranyar, sekeluarga ditolak mengontrak rumah di Dusun Karet, Desa Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, dengan dalih beda agama. Belakangan, warga telah legowo menerima keberadaan warga baru. Sebelumnya, ada pula kasus pemotongan nisan secara paksa.
 
"Isu (intoleransi) ini sudah menasional. Saya dapat pesan dari (pemerintah) wilayah lain hingga pemerintah pusat. (Kasus ini) jadi pembelajaran bersama untuk menata kehidupan bermasyarakat. Koordinasi dengan pemerintahan kabupaten/kota," kata Sekretaris Daerah Pemerintah DIY, Gatot Saptadi di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Jumat, 5 April 2019.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Baca: Beda Agama, Sekeluarga Ditolak Tinggal di Bantul
 
Gatot menjelaskan, ada tujuh poin isi instruksi gubernur nomor 1/INSRT/2019 tertanggal 4 April 2019. Dari tujuh poin itu, ada tiga poin pokok; pencegahan; penindakan; dan pengawasan. 
 
"Salah satu poin dari instruksi ini ada di Pergub Nomor 107 tahun 2015 soal penanganan konflik sosial. Ini refresh kembali mengingatkan semua pihak dan nencermati aktivitas di masyarakat," jelas Gatot.
 
Gatot mengungkapkan, instruksi tersebut mengikat untuk dilaksanakan bupati/walikota. Gubernur memiliki hak menegur hingga memberi sanksi bagi kepala daerah yang abai instruksi itu. 
 
Kasus yang selama ini belum banyak terungkap yakni soal perumahan khusus warga muslim. Gatot mengaku sudah mengetahui kabar itu. Menurut dia, pemerintah daerah sebagai yang berwenang tak selayaknya memberikan izin pendirian. 
 
"Sanksinya pun secara penyelenggaraan pemerintahan. Sangat bisa sekali. Bisa sanksi personal, jabatan, dan sebagainya. Regulasinya sangat bisa sekali," tegas Gatot.
 
Baca: Pemerintah DIY Tak Ingin Kasus Intoleransi Terulang
 
Menurut Gatot, sanksi yang bisa dijatuhkan akan berkaitan dengan kewenangan di sektor pemerintahan. Misalnya, menunda pemberian fasilitas tertentu. "Tapi tak sampai mencopot (jabatan). Sistem pemerintahan tak seperti itu. Kalau desa melegalkan (aturan diskriminatif) itu bencana. Desa melanggar sumpahnya sebagai kepala pemerintahan di daerah," beber Gatot
 
Gatot menambahkan, tak disebutkan pasti batasan waktu berlakunya instruksi itu. Namun, kepala daerah harus segera bergerak menata warganya agar hidup berdampingan dengan sesama dan kondusif.
 
"Setiap tiga bulan kami bertemu di Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) untuk membarui perkembangannya. Permasalahannya bukan sebatas ini. Ini akan kita pantau terus keberadaannya," pungkas Gatot.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(DEN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif