Sekretaris Daerah Pemerintah DIY, Gatot Saptadi di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Jumat, 5 April 2019. Medcom.id-Ahmad Mustaqim.
Sekretaris Daerah Pemerintah DIY, Gatot Saptadi di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Jumat, 5 April 2019. Medcom.id-Ahmad Mustaqim. (Ahmad Mustaqim)

Pemerintah DIY Tak Ingin Kasus Intoleransi Terulang

kerukunan beragama
Ahmad Mustaqim • 05 April 2019 16:18
Yogyakarta: Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengaku sudah kecolongan atas tindak intoleransi yang terjadi di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Pemerintah terlambat dalam mengantisipasi isu penolakan warga non muslim di kawasan tersebut.
 
"Belajar dari peristiwa kemarin, kan ketinggalan kereta. Kejadian sudah berlangsung, publik sudah tahu," kata Sekretaris Daerah Pemerintah DIY, Gatot Saptadi di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Jumat, 5 April 2019. 
 
Gatot menjelaskan, pemerintah kabupaten juga lambat dalam mengambil langkah. Meskipun, Gatot mengakui sudah sempat bertemu dengan Slamet Jumiarto, korban tindak intoleransi di aturan dusun karet.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Seharusnya mengambil langkah dan menyelesaikannya harus tepat dan tegas sesuai kewenangan (pemerintah) masing-masing," jelas Gatot.
 
Baca: Tak Boleh Ada Diskriminasi SARA di Bantul
 
Gatot menegaskan, secara legalitas aturan di tingkat dusun tidak sah. Sebab, tingkat terendah pelaksana pemerintahan berada di desa. Menurut Gatot, segala hal yang berpotensi memunculkan konflik di masyarakat harus dilakukan pencegahan.
 
Jika akan ada aturan di tingkat dusun, pemerintah desa harus mengetahui. Sementara, aturan di Dusun Karet tidak diketahui Kepala Desa Pleret. "Keputusan terendah di desa. Sangat salah kalau dusun atau kelompok masyarakat mengeluarkan keputusan secara legal, aspeknya gak punya legalitas," tegas Gatot.
 
Gatot mengaku menyayangkan dan prihatin atas kejadian tersebut. Sebab, kasus intoleransi masih acap kali terjadi. Sebelum ini, ada juga kasus intoleransi berupa paksaan pemotongan nisan makam di Kotagede, Kota Yogyakarta. 
 
"Jogja yang dikenal toleran dan sebagainya, terdapat nila setitik yang berkembang di masayakarat Jogja intoleran. Ini tentunya perlu kita sikapi karena ada sesuatu penyelenggaraan pemerintahan mungkin kurang tepat dan ada yang salah," beber Gatot. 
 
Baca: Beda Agama, Sekeluarga Ditolak Tinggal di Bantul
 
Kepala Dusun Karet, Iswanto sudah mengakui aturan bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015 yang ikut ia tandatangani pada 19 Oktober 2015 keliru. Menurut dia, aturan itu dibuat ketika itu untuk mengantisipasi tak ada percampuran makam (warga) muslim dan (warga) agama lain. 
 
Aturan ini kemudian dilanjutkan dengan larangan jual-beli tanah yang melibatkan warga non muslim. Menurut dia, aturan ini selama ini hanya dilakukan di dusun tersebut. "Kami sepakat aturan tersebut dicabut. Permasalahan dengan pak Slamet tidak ada lagi," kata Iswanto.
 
Iswanto berharap, tak muncul polemik lagi ke depan usai kejadian itu. Ia menginginkan dusun yang dihuni 540 kepala keluarga (KK) muslim dan 1 KK non muslim bisa hidup rukun. 
 
Sementara, Slamet dan keluarga masih berpikir-pikir apakah akan melanjutkan kontrakan atau mencari yang baru. Ia merasa sudah diterima dengan baik oleh sebagian warga setempat.
 
"Saya sudah ketemu juga sama pemuda di sini. Aturan (diskriminatif) seperti itu seharusnya tidak boleh ada. Warga lain juga senang bertetangga dengan kami. Bahkan ada yang hajatan kami diberi makanan," kata Slamet saat ditemui Medcom.id di kontrakannya, Kamis, 4 April 2019.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(DEN)
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif